Super Tax Deduction Menjadi Pemicu Tumbuhnya Riset Secara Nasional

1617634026-3.jpeg

Saatnya Mengakselarasi Riset Industri

Masih ingat dengan cuitan CEO Bukalapak Achmad Zaky di media sosial twitter pada tahun 2019 yang mengkritik alokasi anggaran riset Indonesia yang dinilai terlalu rendah dibandingkan dengan negara lain. Kejadian itu menimbulkan sebuah pertanyaan besar, apakah Indonesia masih perlu upaya untuk meningkatkan alokasi anggaran untuk riset atau Indonesia masih perlu memperbaiki tata kelola riset nasional, dimana saat ini riset tersebar di sejumlah Kementerian/ Lembaga.

Mari kita lihat potret R&D di Indonesia, pertama dari sisi Gross Domestic Expenditure on R&D (GERD). GERD adalah indikator utama dalam perbandingan aktivitas litbang antarnegara. GERD merupakan statistik agregat utama yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas litbang dari suatu negara, dimana GERD meliputi semua pengeluaran litbang  (expenditures  for  R&D)  yang  dilakukan di suatu wilayah negara pada periode tertentu[1]. Apabila dibandingkan dengan negara lainnya, besaran GERD Indonesia masih rendah, yaitu sebesar 031% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh tertinggal dari Korea Selatan (4,35%), dan negara-negara  ASEAN lainnya seperti Singapura (2,64%),   dan Malaysia (1,29%)[2].

Penelitian dan Pengembangan (Litbang) nasional di Indonesia sepertinya masih tergantung dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (83,88%). Selain itu, kontribusi pihak swasta akan kegiatan riset nasional masih tergolong rendah (9,15%) dan budaya litbang masih belum mengakar kuat termasuk pada sektor industri manufaktur yang cenderung melakukanadopsi teknologi dibandingkan melakukan litbang.

Indikator berikutnya adalah jumlah peneliti (satuan: FTE per satu  juta penduduk), dimana jumlah peneliti Indonesia hanya 171 FTE per satu juta penduduk, sangat jauh dibandingkan dengan Korea Selatan yang memiliki jumlah peneliti 5095 FTE per satu juta penduduk dan Negara-Negara ASEAN seperti Singapura  (5663),  Malaysia  (1310), Thailand (589), dan Vietnam (540).

Ironisnya litbang merupakan komponen proses yang memberikan nilai tambah (added value) tertinggi dari value chain sebagaimana smiling CURVE, namun belum menjadi fokus utama dari Pemerintah khususnya dalam kebijakan dukungan alokasi anggaran. 

Kondisi litbang nasional tersebut setidaknya berpengaruh terhadap daya saing Indonesia. Berdasarkan Key Attractiveness Indicators, Indonesia pada tahun 2020 menempati peringkat 40 dari 63 negara, lebih buruk dibandingkan tahun 2019 (turun 8 peringkat) dimana penyebabnya adalah daya tarik terkait R&D yang menempati posisi 11 dari 15 indikator daya tarik utama dikarenakan tidak membudaya R&D di Indonesia[3].

Seharusnya hal tersebut menjadi latar belakang pemerintah ke depan, untuk menjadikan litbang menjadi isu utama dan semoga apa yang dijanjikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2020-2024, yaitu “mengembangkan sentra-sentra inovasi serta peningkatan anggaran riset untuk mendorong inovasi teknologi serta revitalisasi science - technopark untuk keperluan masyarakat serta pengembangan teknologi yang diperlukan di era revolusi industri 4.0” yang merupakan bagian dari Visi Misi dapat terealisasi.

Kembali membahas permasalahan terkait dengan alokasi anggaran riset di Indonesia, dimana Bapak Presiden telah mengakui bahwa anggaran riset yang ada saat ini tersebar di berbagai Kementerian/ Lembaga (K/L) dan tidak terintegrasi. Untuk itu, kedepannya sangat penting bagaimana menyusun tata kelola riset yang fokus dan terintegrasi. Hal ini memerlukan leader yang visioner, apakah leader saat ini visoner, jawaban akan terlihat kedepan, apakah tata kelola riset secara nasional terorganisir dengan baik atau tidak, kita bisa menilai dengan persepsi dan parameter masing-masing.

Berikutnya, bagaimana upaya meningkatkan peran swasta pada pengembangan riset (litbang). Namun sebelum menjelaskan detailnya, akan ada pertanyaan dasar terlebih dahulu, yaitu kenapa swasta harus berperan dalam riset. Jawabannya adalah inovasi saat ini sebagai main driver pada lingkungan dunia bisnis yang berubah sangat cepat dan pertumbuhan ekonomi global dipengaruhi oleh percepatan inovasi yang didukung oleh teknologi yang berkembang pesat, siklus hidup produk yang lebih pendek dan tingkat pengembangan produk baru yang lebih tinggi. Artinya perusahaan harus melakukan riset untuk menghasilkan inovasi (product dan/atau process innovation).

Inovasi adalah usaha organisasi yang kompleks dan menyeluruh, dimana dibutuhkan serangkaian praktik dan proses crosscutting untuk menyusun, mengatur, dan mendorongnya. 8 (delapan) hal penting dalam kinerja inovasi (the eight essentials of innovation performance) yang merupakan hasil dari penelitian (studi) yang dilakukan selama bertahun-tahun terhadap terhadaplebih dari 2.500 eksekutif di lebih dari 300 perusahaan, yaitu aspire, choose, discover, evolve, accelarate, scale, extend danmobilize[4].

Perusahaan yang melakukan inovasi berkesinambungan adalah perusahaan terdepan dengan memiliki keunggulan kompetitif. Pemerintah perlu mengambil peran, khususnya dalam hal meningkatkan ekosistem inovasi dan insentif sebagai stimulus bagi perusahaan untuk melakukan riset.

Dalam rangka memberikan stimulus bagi perusahaan/ industri melakukan riset, pemerintah telah paham dengan menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan atau yang dikenal dengan Super Tax Deduction, dimana diberikan wajib pajak yang melakukan: vokasi berupa praktik kerja dan pemagangan, industri padat karya dan penilitian dan pengembangan.

Pemberian insentif sebagai stimulus bagi peningkatan daya saing industri juga diamanatkan pada Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Pemerintah (Pusat dan Daerah) dapat memberikan fasilitas untuk mempercepat pembangunan Industri, dimana fasilitas diberikan pada Perusahaan Industri yang melakukan R&D Teknologi Industri dan produk.

Insentif yang diberikan kepada industri dalam negeri yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia, dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 300% (tiga ratus persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di 

Indonesia yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana Pasal 29 C PP 45/2019. Kegiatan penelitian dan pengembangan yang dimaksud merupakan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia untuk menghasilkan invensi, menghasilkan inovasi, penguasaan teknologi baru, dan/atau alih teknologi bagi pengembangan industri untuk peningkatan daya saing industri nasional.

Industri tentunya akan menyambut baik insentif tersebut. Namun, hal penting yang kiranya menjadi fokus adalah memastikan PP 45/2019 tersebut implementatif dengan kriteria-kriteria yang nantinya akan ditetapkan pada peraturan turunan, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 153/2020 sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. Jangan sampai sejarah terulang, dimana insentif sulit didapatkan oleh industri karena kriteria-kriteria yang memberatkan dan tidakimplementatif.

Kenapa kriteria-kriteria perlu menjadi fokus, karena pemanfaatan hasil R&D memerlukan waktu yang sangat panjang.Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) faktor utama yang dapat digunakan untuk mengukur peningkatan kemampuan inovasi, yaitu kesiapan teknologi, kesiapan Inovasi dan kesiapan manufaktur. Proses pemanfaatan hasil penelitian masih tergantung kesiapan inovasi dan kesiapan manufaktur. “Valley of Death” akan menghadang Proses Inovasi jika hanya bertumpu pada Technology Readinnes Level. Untuk itu, PMK yang merupakan turunan dari PP 45/2019 nantinya harus melihat aspek tersebut. Sebuah penelitian menghasilkan produk teknologi akan memiliki aspek pasar tinggi, bermanfaat dan laku pasar apabila memiliki tingkat kesiapan teknologi, tingkat kesiapan inovasi dan tingkat kesiapan manufaktur tinggi. Tanpa ketiga kesiapan tersebut sebuah proses inovasi akan tersungkur kedalam lembah kematian (Valley of Death)[5].

Insentif riset tersebut juga akan secara tidak langsung berperan pada keberhasilan program Making Indonesia 4.0, karenaberdasarkan kajian yang dilakukan Mckinsey pada Industry 4.0: Reinvigorating ASEAN Manufacturing for the Future, menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) faktor inisiatif krusial yang harus dilakukan oleh Pemerintah agar mengakselarasi percepatan dan keberhasilan implementasi industri 4.0, salah satunya adalah memberikan insentif untuk mempercepat perusahaan/ industri dalam melakukan transformasi.

Selain itu, melalui insentif riset (biasa dikenal dengan Super Deduction Tax), diharapkan perusahaan dapat mendirikan Pusat Inovasi di dalam negeri dan tidak terjadi lagi, perusahaan Indonesia membuka Pusat Inovasi di luar negeri sebagaimana yang dilakukan oleh salah satu Unicorn Indonesia. Kenapa?. Karena nantinya akan menimbulkan sebuah pertanyaan besar: Karya Anak Bangsa atau Bangalore?.

Semoga tujuan mulia PP 45/2019 dapat tercapai, yaitu mendorong peran dunia usaha dan dunia industri dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan, namun tentunya perlu didukung usaha lainnya sepertinya penciptaan ekosistem inovasi yang baik….

Peran Pemerintah guna mendorong geliat penelitian dan pengembangan khususnya di industri tentunya tidak hanya difokuskan dalam menciptakan ekosistem, tetapi Pemerintah juga diharapkan aktif mendorong hasil R&D terimplementasikan pada skala industri melalui sinergi bersama-sama antara industri, badan penelitian dan pegembangan (litbang), dan universitas. Belajar dari beberapa negara yang mengakselarasi hasil R&D industri melalui pembentukan lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yaitu menjembatani hasil riset sampai dengan skala komersialnya dengan beranggotakan badan litbang, akademisi dan industri seperti Met Ignited (Australia), Canmet (Canada), dan NEDO. Selain itu, pemerintah harus terus berupaya memperkuat peranan kegiatan litbang di dalam negeri sehingga industri di dalam negeri dapat terus bersaing di tataran teknologi dan inovasi. Di antaranya dengan menguatkan kerjasama public private partnership, dimana institusi pendidikan dan penelitian di dalam negeri dapat mendukung kegiatan litbang industri manufaktur di dalam negeri.

Pada akhirnya melihat kondisi existing, tantangan dalam peningkatan daya tarik R&D diantaranya telah dibahas sebelumnya seperti kontribusi pihak swasta, jumlah peneliti dan Human Capital Index yang masih relatif rendah sangat diperlunkan kebijakan fiskal yang mendorong R&D oleh pihak swasta dengan tetap mendorong terjaganya Fiscal Sustainability 

Mayar Soeryo Prayogo

Analisis Anggaran Muda

Direktorat Jenderal ILMATE – Kementerian Perindustrian


[1] Lanskap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia, [2] 2020 Global R&D Funding Forecast,[3] IMD World Competitiveness Rangking 2020, [4] Jong, Marc De, et al. “The eight essentials of innovation.” McKinsey Quaterly, no. April, 2015, hal. 3, doi:10.4028/www.scientific.net/AMR.768.34, [5]Dr. Ir. Agus Puji Prasetyono, M.Eng, Mencermati  “Valley of Death” Inovasi

Tag :
Bagikan Berita Ini :

Berita Lainnya :