Geser Orientasi Produk Ekspor untuk Kinerja Yang Lebih Baik

1603789691-Picture1.png

Menggeser Komoditas Prioritas Ekspor dari Tingkat Processing atau Co-Manufacturing Product ke arah High Technology Product

 

April 2019 merupakan salah satu bulan bersejarah bagi kinerja ekspor Indonesia, dimana pada bulan tersebut, defisit Neraca Perdagangan Indonesia terdalam sepanjang sejarah. Badan Pusat Statisktik (BPS) mencatat neraca dagang Indonesia per April 2019 defisit sebesar US$ 2,50 miliar. Angka itu berasal dari nilai ekspor US$ 12,6 miliar dan impor sebesar US$ 15,10 miliar. Angka defisit neraca dagang per April 2019 tersebut menjadi yang paling besar sepanjang republik ini merdeka atau sepanjang sejarah. Sebelumnya, defisit terdalam terjadi pada Juli 2013 sebesar US$ 2,3 miliar. 

Presiden Jokowi juga menyinggung masalah defisit neraca dagang pada saat pembukaan rapat terbatas (ratas) mengenai evaluasi pelaksanaan mandatori biodiesel 20% (B20) beberapa hari yang lalu. 

Peningkatan ekspor adalah PR besar bagi pemerintah karena merupakan aktifitas kompleks, dimana faktor internal dan eksternal sangat mempengaruhi. Kinerja ekspor harus menjadi major concern. Pemerintah melalui kebijakan dan program strategis mulai dari sisi fiskal, sektor riil, maupun moneter diharapkan dapat mendorong ekspor, karena ekspor merupakan salah satu faktor kunci pertumbuhan ekonomi.

Melihat lebih dalam kinerja ekspor saat ini, adapun nilai ekspor periode bulan Juni 2019 mencapai US$11,78, dimana ekspor nonmigas mencapai US$11,03 miliar, nilai tersebut turun 19,39 persen dibanding Mei 2019. Demikian juga dibanding ekspor nonmigas Juni 2018, turun 2,31 persen. Peranan industri pengolahan terhadap total ekspor selama bulan Januari sampai Juni 2019 berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS sebesar 74,88%. Data tersebut menunjukan dominasi industri pengolahan pada peranan ekspor nonmigas Indonesia menurut sektor.

Lemahnya volume perdagangan dunia, penurunan harga komoditas, tingginya impor seiring peningkatan kebutuhan bahan baku produksi serta permintaan domestik terhadap barang jadi merupakan tantangan industri pengolahan  sebagai sektor prioritas pendorong peningkatan ekspor non migas. 

Saat ini Indonesia berada pada urutan ke 29 negara terbesar importir dengan  pertumbuhan nilai impor negative pada periode tahun 2013-2017.

Defisit neraca perdagangan  barang dan jasa mulai  menurun sejak tahun 2014. Defisit neraca perdagangan  barang dan jasa pada tahun  2018 adalah sebesar 7,5  Miliar USD. Pada tahun 2019, ekspor  diproyeksi akan tumbuh 6,3 % dan impor sebesar 7,1 %. Kondisi tersebut didorong dengan adanya ketidakpastian karena  konflik dagang antara AS dan  Tiongkok dan pertumbuhan  ekonomi global dan volume  dagang yang tidak setinggi  tahun sebelumnya.

Sepertinya diperlukan startegi baru dalam peningkatan ekspor salah satunya melalui pembenahan sisi nilai tambah dengan menggeser komoditas prioritas ekspor dari tingkat processing atau co-manufacturing product ke arah high technology product. Produk yang termasuk high-technology dengan intensitas R&D yang tinggi terdiri dari produk aerospace, computers, pharmaceuticals, scientific instruments, dan electrical machinery.

Strategi ini dilakukan di negara tetangga, dalam ini Malaysia. Negara jiran tersebut memfkuskan pada upaya menarik investasi produksi produk-produk ekspor yang memiliki nilai tambah tinggi. Kondisi berbeda dengan kebanyakan investor asing di Indonesia yang lebih melihat pada  potensi pasar dalam negeri. Local market attractiveness pada dasarnya merupakan salah satu faktor pendorong daya saing industri dilihat dari pendekatan market force dan government force berdasarkan Global Manufacturing Competitiveness Indexyang disusun oleh Deloitte Touche Tohmatsu Limited and US Council on Competitiveness atas survei terhadap Global CEO. Pemerintah harus berani mengundang investor yang memproduksi produk bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor bukan hanya investor yang mengoptimalkan pasar dalam negeri, karena saat ini sepertinya bukan eranya lagi sebuah tagline #Potensi Pasar Dalam Negeri Basis Kekuatan Industri  

Berdasarkan data United Nations (Comtrade database through the WITS platform) Nilai High-technology exports Indonesia tertinggal jauh dibanding beberapa negara tetangga, dimana tahun 2017, nilai ekspornya hanya 3,957 billion US$ atau 5,432% kontribusinya dari total ekspor, jauh dibandingkan dengan Singapura (136,61 billion US$), Vietnam (52,78 billion US$) dan Malaysia (41,37 billion US$).

Untuk itu, kebijakan peningkatan ekspor tidak hanya berfokus pada penyederhanaan prosedur ekspor, pengurangan larangan terbatas ekspor, pengembangan produk unggulan, perluasan akses pasar ke pasar non-tradisional dan pemberian fasilitas pembiayaan ekspor tapi juga harus disinkronisasi dengan kebijakan investasi untuk mendorong investor yang memproduksi barang bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor. 

Upaya mendorong ekspor bernilai tambah tinggi dilakukan pula di negara Vietnam yang menjadi kekuatan baru di ASEAN, melihat data 2005 – 2020 ekspor Vietnam masih terkonsentrasi pada produk bernilai tambah rendah (low-value-added products) dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Namun, pada tahun 2017, Vietnam sudah mengubah pola orientasi produk unggulan ekspor ke arah  high-technology product, dimana kontribusinya tercatat sebesar 29,5% dari total ekspor dengan nilai sebesar 52,78 billion US$.

Cerita apa dibalik kesuksesan Vietnam tersebut, ini yang menarik dilihat lebih dalam. Vietnam menganut liberalisasi perdagangan, namun dengan melakukan reformasi dalam negeri melalui deregulasi dan menurunkan biaya bisnis serta peyederhaan kemudahan bisnis. Strategi yang berani dengan perhitungan yang matang tersebut sebagai investasi besar buat Vietnam, tapi terbayarakan. Berbekal infrastruktur yang diperlukan dan kebijakan ramah pada investor, Vietnam menjadi pusat investasi dan manufaktur asing di Asia Tenggara. Perusahaan elektronik Jepang dan Korea seperti Samsung, LG, Olympus dan Pioneer dan pembuat pakaian Eropa dan Amerika berinvestasi disana. 

Pada 2017, Financial Times melaporkan, Vietnam adalah pengekspor pakaian terbesar di kawasan ASEAN dan pengekspor elektronik terbesar kedua (setelah Singapura).

Kabar yang mengembirakan adalah pada rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 telah memasukan kontribusi ekspor produk industri berteknologi tinggi sebagai salah satu indikator pada arah kebijakan Peningkatan ekspor bernilai tambah tinggi dan penguatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dan Prioritas Nasional (PN1) Penguatan ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dengan target tahun 2020 sebesar 10,8-11,0% dan tahun 2024 sebesar 13%. Hal ini menjadi peluang dan tantangan untuk meningkatkan daya saing ekspor, dimana dunia usaha tidak bisa jalan sendiri melainkan harus ada kerjasama dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah baik pusat maupun daerah, dunia usaha, tenaga kerja, dan akademisi.

Selain itu, pola pengembangan Thailand yang memfokuskan pada Industri Otomotif juga dapat dijadikan rekomendasi.  Thailand saat ini mendapat reputasi sebagai “Detroit of the East” berkat industri otomotifnya. Thailand merupakan produsen kendaraan komersil terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan China, berdasarkan total penjualan kendaraan. Industri otomotif Thailand adalah yang terbesar di Asia Tenggara, dengan kapasitas terkombinasi diproduksi lebih dari 2 juta kendaraan per tahun. Infrastruktur industri otomotif ini yang paling berkembang secara regional. Pabrik-pabrik di Thailand memproduksi 3 juta kendaraan pada tahun 2017. Kendaraan bermotor dan suku cadang otomotif meliputi 5.4% dari keseluruhan industri di Thailand, 55% dari industri otomotif ini lebih diutamakan untuk pasar ekspor. Industri otomotif adalah salah satu dari sektor produsen terbesar di negara ini dan mengembangkan 12% Produk Domestik Bruto Nasional. Secara khusus pengembangan infrastruktur Eastern Economic Corridor (ECC) berperan besar dalam perkembangan industri otomotif di Thailand. Infrastruktur tersebut berperan sebagai export hub dan pusat industri padat teknologi. Infrastruktur tersebut menjadi tempat bagi 14 lahan industri, yang menyerap 360.000 tenaga kerja, serta 1.300 pabrik, dimana yang 516 di antaranya terkait dengan produksi otomotif.

Pemerintah telah menyampaikan detail strategi dalam peningkatan ekspor, khususnya terkait dengan area kebijakan fasilitasi industri dimana menitik beratkan pada beberapa strategi, yaitu:  simplifikasi perijinan usaha secara online (OSS), penghapusan persyaratan Laporan Surveyor (LS) Ekspor CPO, pembentukan Pusat Logistik Berikat (PLB) & rebranding Kawasan Berikat (plasma hortikultura) untuk hilirisasi industri & substitusi impor, pembentukan kawasan khusus di pelabuhan untuk ekspor kendaraan bermotor, serta pembiayaan, penjaminan & pendampingan ekspor (termasuk oleh K/L, LPEI  & asosiasi).

Berdasarkan Outlook Perekonomian Indonesia 2019 “Meningkatkan Daya Saing untuk Mendorong Ekspor”, guna memperbaiki neraca perdagangan Indonesia, Pemerintah mengeluarkan kebijakan antara lain: (1) mendorong peningkatan ekspor, (2) mendorong peningkatan investasi dan (3) mengendalikan impor. Adapun kebijakan mendorong ekspor berfokus pada: (1) menentukan sektor/ komoditas unggulan yang berorientasi eskpor; (2) simplifikasi prosedural untuk menekan biaya dan waktu; (3) efisiensi logistik; (4) diplomasi pengenaan Tarif Preferensi (FTA) dan akses pasar (non-tradisional market).

Tentunya hal tersebut adalah sesuatu yang positif, namun perlu kiranya sinergi kebijakan investasi dengan ekspor, khususnya bagaimana mendorong ekspor produk bernilai tambah tinggi dengan lebih attractive untuk mengintervensi kebijakan agar investor yang memproduksi produk-produk ekspor yang memiliki nilai tambah tinggi masuk ke Indonesia, sehingga Indonesia dapat menggeser komoditas prioritas ekspor dari tingkat processing atau co-manufacturing product ke arah high technology product.

 

Mayar Soeryo Prayogo

Analis Anggaran Muda

Tag :
Bagikan Berita Ini :

Berita Lainnya :